PERCOBAAN
I
PEMBUATAN
SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA
A.
Tujuan
Dapat
melakukan pembuatan simplisia serta prosedur penapisan fitokimia untuk
mengidentifikasi kandungan zat aktif simplisia.
B.
Dasar teori
Simplisia
adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum
mengalami pengolaan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan
yang dikeringkan,
Terdapat
3 jenis simplisia yaitu :
a. Simplisia
nabati
b. Simplisia
hewani
c. Simplisia
pelikan
Proses
pembuatan simplisia :
·
Pengumpulan bahan baku
·
Sortasi basah
·
Pencucian
·
Pengubahan bentuk
·
Pengeringan
·
Sortasi kering
·
Pengepakan dan penyimpanan
Skrining
fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang belum tampak
melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat denan cepat memisahkan antara
bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan bahan alam yang
tidak memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining fitokimia merupakan tahap
pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang
diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan dalam
skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metoe ekstraksi (Kristianti
dkk., 2008).
Skrining
fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi pemeriksaan
kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/steroid , tanin dan saponin
menurut prosedur yang telah dilakukan oleh Harbone (Harbone, 1987) dan (Depkes,
1995).
1. Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol
terbesar yang senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6 dan sering ditemukan
diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk glikosida atau gugusan gula bersenyawa
pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik (Sirait, 2007; Bhat et al., 2009).
Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder y ang disintesis dari asam
piruvat melalui metabolisme asam amino
(Bhat et al., 2009). Flavonoid adalah seny awa fenol, sehingga warnanya berubah
bila ditambah basa atau amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu
antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil,
khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).
2. Alkaloida
Merupakan golongan zat tambahan sekunder
yang terbesar. Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai
bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, sering kali bersifat
optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal, tetapi hanya sedikit yang berupa
cairan (Teyler. V. E, 1988). Alkaloid dapat dideteksi dengan beberapa pereaksi
pengendap . pereaksi mayer memberikan endapan warna putih. Pereaksi dragendorff
mengandung bismuth nitrat dan merkuri klorida dalam asam nitrat berair. Senyawa
positif mengandung alkaloid jika setelah penyemprotan dengan pereaksi
dragendorff membentuk warna jingga (Sastrohamidjojo, 1996).
3. Kuinon
Adalah senyawa berwarna dan mempunyai
kromofor dasar seperti kromor pada benzokuinon, yang terdiri atas 2 gugus
karbonil yang berkonjugasi dengan 2 ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan
identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi 4 kelompok yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Untk memastikan adanya suatu
pigmen termasuk kuinonatau bukan, reaksi warna sederhana masih tetap berguna.
Reaksi yang khas ialah reduksi bolak balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa
tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara
(Harborne. J. B, 1987).
4. Tanin
Merupakan senyawa yang memiliki sejumlah
gugus hidroksi fenolik yang banyak terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Terdapat pada
daun, buah dan batang. Tanin merupakan senyawa yang tidak dapat dikristalkan
dan membentuk senyawa tidak larut yang berwarna biru gelap atau hitam kehijauan
dengan logam besi tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh dalam
angiospermae terdapat khusus pada jaringan kayu. Menurut batasannya tanin dapat
bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air.
Didalam tumbuhan, letak tanin terpisah dari protein dan enzin sitoplasma,
tetapi bila jaringan rusak misalnya bila hewan memakannya maka reaksi
penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai
oleh cairan pencerna hewan pemakan tumbuhan (Gunawan, 2004).
5. Saponin
Merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang
terbesar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk larutan koloidal
dalam air dan membentuk busa yang mantap jika dikocok dan tidak hilang dengan
penambahan asam (Leswara, 2005).
C.
HASIL
Hasil pengamatan skrining
fitokimia
Nama simplisia : Piperis Nigrum Linn.
Metode Ekstrasi :
Hasil pengamatan :
No
|
Jenis Uji
|
Hasil
|
Keterangan
|
1
|
Alkaloid
|
a. Pereaksi Mayer (+)
b. Pereaksi Dragendroff (+)
|
a.
Endapan
menggumpal warna putih
b.
Warna
merah/jingga
|
2
|
Flavonoid
|
(-)
|
Warna putih
|
3
|
Tanin
|
(-)
|
Keruh
|
4
|
Saponin
|
(-)
|
Tidak terbentuk buih
|
5
|
Kuinon
|
(-)
|
keruh
|
D. PEMBAHASAN
Skrining
fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi bioaktif yang belum tampak
melalui suatu tes atau pemeriksaan yang dapat dengan cepat memisahkan antara bahan
alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu dengan bahan alam yang tidak
memiliki kandungan fitokimia tertentu. Skrining fitokimia merupakan tahap
pendahuluan dalam suatu penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan
gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang
diteliti. Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian
warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan
penting dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi
(Kristianti dkk., 2008).
Skrining
fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi pemeriksaan
kandungan senyawa alkaloida, flavonoida, terpenoida/ steroida, tanin dan
saponin menurut prosedur yang telah dilakukan oleh Harbone (Harbone, 1987).
Pada praktikum ini melakukan skrining fitokimia pada ekstrak lada hitam atau
merica, melakukan identifikasi ekstrak tanaman lada hitam yang bertujuan untuk
mendeteksi senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon pda serbuk lada
hitam atau merica (piperis nigrum L.).
Uji pertama
dilakukan uji alkaloida menggunakan larutan pereaksi Mayer dan pereaksi
Dragendroff utnuk setiap pengujian rata-rata dilakukan pemanasan di penangas
air. Untuk hasil skrining fitokimia pada serbuk lada hitam yang pertama uji
alkaloida yang menggunakan pereaksi Mayer diperoleh hasil endapan menggumpal
berwarna putih atau kuning (+) dan untuk pereaski Dragendroff diperoleh hasil
warna merah/jingga (+). Kedua uji Flavonoid diperoleh hasil warna putih (-)
yang ketiga uji saponin hasil tidak didapat adanya buih pada larutan (-) yang
ke empat uji tanin didapat hasil larutan keruh (-) dan yang kelima uji kuinon
larutan yang diperoleh dari identifikasi flavonoid ditambahkan NaOH 1N didapat
hasil larutan keruh (-).
Hal ini
berbeda dengan pustaka yang menyatakan ekstrak lada hitam mengandung senyawa
alkaloida, glikosida, tanin, fenol, terpenoid/steroid dan flavonoid ( Nahak dan
Sahu, 2011). Perbedaan kandungan metabolit sekunder ini didgua dipengaruhi oleh
perbedaan kondisi geografis tempat tumbuh sampel.
E. KESIMPULAN
-
Dapat melakukan skirining fitokimia untuk
mengidentifikasi kandungan zat aktif simplisia
-
Hasil alkaloid (+), flavonoid (-), saponin (-), tanin
(-), kuinon (-)
F. DAFTAR
PUSTAKA
Bhat,S.V., B.A. Nagasampagiand S. Meenakshi. 2009.
NaturalProducts: Chemistry and Application. Narosa Publishing House, New Delhi.
India.
Depkes RI. 1995.
Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hal. 334, 336, 337.
Gunawan, Didik dan Sri
Mulyani, 2004, Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) jilid I, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Kristanti, A. N., N. S.
Aminah, M. Tanjung, dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar Fitokimia. Surabaya:
Airlangga University Press. Hal. 23, 47.
Leswara, 2005, Buku Ajar Kimia
Organik, Ari Cipta, Jakarta.
Nahak, G. dan R.K Sahu.
2011. Phytochemical Evaluation and Antioxidant Activity of Piper cubeba and
Piper nigrum. Journal of Applied Pharmaceutical Science. Vol. 1.
No. 8. pp. 153-157.
Teyler. V. E., dkk. 1988. Pharmacognosy
9th edition. 187-188. Phiadelphia: Lea & Febiger.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar